Logo Design by FlamingText.com

Untuk meningkatkan motivasi belajar dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu cara yaitu dengan belajar interaktif. Saya ingin berbagi soal interaktif dan soal non interaktif melalui link di bawah ini :
Ujian Nasional Seberapa Penting ? Pemerintah berkepentingan meningkatkan mutu pendidikan. Karena dengan pendidikan suatu negara dapat membangun dirinya dari ketertinggalan. Dengan pendidikan kehidupan menjadi tertata dan teratur. Melalui Ujian Nasional pemerintah berharap dapat dengan cepat meningkatkan mutu pendidikan. Ujian Nasional dijadikan penentu kelulusan. Terjadi pro dan kontra. Yang pro tentu mengetahui praktik pendidikan di beberapa sekolah hanya ala kadarnya kalau tidak bisa dibilang 'sak karepe dhewe'. Yang kontra melihat ketidak adilan karena nasib siswa hanya ditentukan dalam 4 hari, proses belajar selama hampir 3 tahun diabaikan. Wal hasil banyak sekolah melakukan kecurangan, contek menyontek antar siswa malah dianjurkan, tidak hanya itu guru dipaksa ikut bermain dengan memberikan jawaban kepada siswa. Ironi. Maksud hati meningkatkan mutu apa daya malah menghancurkan mutu plus moral. Untuk mengatasi itu pemerintah membuat paket soal tidak hanya satu, mulanya 2 paket kemudian 5 paket. Karena gugatan dari yang kontra begitu kuat bahkan sampai memenangkan gugatan di pengadilan, akhirnya pemerintah mengambil kebijakan bahwa sekolah juga ikut menentukan kelulusan siswanya. Syarat kelulusan diformulakan NA = 0,4 NS + 0,6 UN ( NA = nilai akhir, NS = nilai sekolah, UN = nilai ujian nasional). Syarat lulus NA harus 5,5 atau lebih. Formula inipun gampang dicurangi, agar siswanya lulus. Dengan jurus dewa mabuk banyak sekolah yang menyulap NS (nilai sekolah) menjadi tinggi bahkan sangat tinggi. Jika tidak sungkan gitu semua siswanya diberi nilai 10. Tragis, nilai tinggi tapi mutu rendah. Kalau kita hitung dengan formula di atas NS = 10 agar NA = 5,5 maka UN = 2,5. Betapa rendahnya, karena lulus hanya butuh nilai UN = 2,5. Mutu meningkatkah ? Jika kita balik UN = 3 supaya lulus membutuhkan NS = 9,25. Apakah masuk akal semua siswa mempunyai nilai di atas 9. Lagi-lagi muncul sindiran 'inginnya meningkatkan tapi yang didapat keterpurukan'. Dari fakta di atas masih lebih baik jika UN tidak digunakan sebagai penentu kelulusan, supaya tidak terjadi markup nilai gila-gilaan dan moralitas tetap terjaga karena tidak melulu berpikir melakukan kecurangan.
Baik Tapi Basa Basi. Minta doa restu sebelum menempuh ujian merupakan perbuatan baik. Utamanya doa restu dari ayah dan ibu. Jangan sampai sudah minta restu orang lain, sementara lupa minta doa restu ayah dan ibu sendiri. Mohon doa restu kepada guru sebelum menempuh ujian nasional saat ini baru ngetren. Siswa berbondong-bondong mendatangi gurunya kemudian bersalaman sambil meminta doa restu supaya lulus dalam menempuh ujian. Yang didatangi bukan hanya guru yang saat ini mengajar mereka, tetapi juga mantan guru-guru mereka dulu. Siswa SMA/SMK menyempatkan diri megunjungi guru-guru SMP mereka. Kedatangan mereka membuat suasana sekolah mendadak meriah mirip hari raya Idul Fitri. Mantan guru SMP mereka menyambut gembira karena mantan murid masih ingat pada almamater. Adegan salam salaman menambah suasana menjadi lebih hangat dan akrab. Semua siswa mendadak berperan sebagai sosok yang santun. Semua guru juga mendadak berperan sebagai sosok begawan pemberi restu kepada siapa saja yang meminta. Di tengah tengah hingar bingar itu ada seorang guru yang berpandangan lain, dia lebih berpikir rasional. Sambil bersalaman guru yang kritis tadi menasehati ‘Jangan menganggap urusan sudah selesai sampai di sini. Urusanmu yang paling penting adalah belajar kemudian berdoa dan jangan lupa mohon doa restu ayah dan ibumu.’ Nasihat guru tadi sebenarnya juga bermakna mengkritisi gejala yang baru ngetren tadi. Peristiwa yang sebenarnya jamak dan lumrah kemudian disakralkan, diformalkan dalam bentuk seremonial kecil-kecilan yang dikhawatirkan melupakan urusan yang paling urgen. Bersalaman tanpa menyertakan emosi, permintaan restu yang jauh dari keseriusan dan kekhusukan bukankah itu lebih tepat disebut basa-basi ? Budaya basa-basi berselimutkan spiritual religius saat ini sedang ngetren. Mata pelajaran basa basi secara eksplisit sudah masuk dalam kurikulum dengan pendekatan pembelajaran yang terbukti handal. Sedikit teori banyak praktik. Sebagai guru hendaknya peka dan jeli, dalam menanamkan budaya santun jangan menjerumuskan siswa dalam kubangan formalitas basa-basi yang jauh dari efisiensi dan esensi.
Bebas Dari Penindasan. Berakhirnya Ujian Nasional dirayakan dengan penuh suka cita dan penuh kemenangan. Layaknya kemenangan melawan penjajahan dan penindasan. Luapan kemenangan diwujudkan dengan corat coret baju, pesta miras, pawai arak-arakan keliling kota bahkan tawuran. Begitulah fakta yang muncul ke permukaan. Padahal itu baru selesai ujian belum pengumuman kelulusan. Belum tahu setelah lulus nanti bagaimanan. Gejala apa sebenarnya yang melatarbelakangi ? Mengapa siswa tidak menikmati masa indah di sekolah ? Mengapa sekolah dirasa menindas ? Masa sekolah menjadi masa tertindas bukannya masa terindah. Sehingga begitu keluar dari sekolah sama artinya keluar dan terbebas dari penindasan. Ketika keluar dari sekolah kelakuan mereka jauh dari nilai-nilai santun, kelakuan yang ditunjukkan justru liar dan brutal. Dalam hati mereka memendam dendam kesumat yang harus dilampiaskan dengan membabi buta kepada siapa saja yang mereka temui. Dalam pikiran mereka semua turut andil dan turut berdosa atas penindasan yang mereka alami. Hal ini sangat kontras dibanding masa masa menjelang ujian nasional dgelar. Dengan santun mereka berbondong-bondong mendatangi guru mereka untuk meminta dosa restu. Ternyata kelakuan santun yang mereka tunjukkan hanya basa-basi. (Baca juga Baik Tapi Basa Basi).
Kalau kita cermati gejala ini muncul setelah Ujian Nasional digunakan sebagai penentu kelulusan. Sebelum itu tidak pernah ada gejala yang membuat hati menjadi miris. Sebelum itu suasana sekolah damai-damai saja. Siswa senang bersekolah bahkan ketika libur mereka merindukan suara bel berdering pertanda pelajaran dimulai. Mereka merindukan sapaan guru-guru yang ramah, mereka merindukan berdesak-desakan di kantin berebut tempat duduk. Saat ujian semester maupun ujian nasional berlangsung, bagi mereka biasa-biasa saja, tidak perlu ada yang dicemaskan dan tidak perlu ada yang ditakutkan. Keadaan emosi mereka begitu stabil sehingga dalam menjawab soal tidak ada perasaan grogi. Nilai yang muncul merupakan cerminan kemampuan siswa, karena jawaban yang mereka berikan masih relatif jujur. Jika  ada yang melakukan kecurangan jumlahnya relatif kecil. Dan yang paling penting kecurangan tidak pernah direstui dan tidak pernah direncanakan baik oleh siswa maupun oleh sekolah. Kalau ada siswa yang tidak lulus, berarti siswa tersebut memang layak untuk tidak lulus, tidak ada kejutan yang mengejutkan. Tetapi  ketenangan itu terusik begitu ujian nasional digunakan sebagai penentu kelulusan. Dampak ujian nasional jika dipakai sebagai penentu kelulusan begitu mengerikan. Dari tahun ke tahun korban berjatuhan dari kalangan generasi penerus bangsa. Sejatinya Ujian Nasional digunakan untuk mendongkrak mutu pendidikan tetapi praktiknya justru menenggelamkannya ke titik nadir. Bukan hanya mutu yang tenggelam tetapi juga moral. Kecurangan begitu sistematis, terencana, melibatkan banyak orang dan mendapat restu. Komplit sudah. Secara eksplisit mata pelajaran kecurangan sudah masuk dalam kurikulum sekolah. (Baca juga Ujian Nasional seberapa Penting ?) Masihkah ujian nasional sebagai penentu kelulusan layak tetap dipertahankan ? Menunggu sampai benar-benar kolap baru dicabut ? Terlambat

1 komentar:

  1. stuju ! anak didik itu mpy kcerdasan dibidangnya sndiri2.bhwa seorang murid itu slalu juara di bidang keahliannya msing2,jd gak bisa bisa digebyah uyah dgn mematok unas sbg kberhsilan bljar.

    BalasHapus