Ujian Nasional Seberapa Penting ?
Pemerintah berkepentingan meningkatkan mutu pendidikan. Karena dengan
pendidikan suatu negara dapat membangun dirinya dari ketertinggalan. Dengan
pendidikan kehidupan menjadi tertata dan teratur. Melalui Ujian Nasional
pemerintah berharap dapat dengan cepat meningkatkan mutu pendidikan. Ujian
Nasional dijadikan penentu kelulusan. Terjadi pro dan kontra. Yang pro tentu
mengetahui praktik pendidikan di beberapa sekolah hanya ala kadarnya kalau
tidak bisa dibilang 'sak karepe dhewe'. Yang kontra melihat ketidak adilan
karena nasib siswa hanya ditentukan dalam 4 hari, proses belajar selama hampir
3 tahun diabaikan. Wal hasil banyak sekolah melakukan kecurangan, contek
menyontek antar siswa malah dianjurkan, tidak hanya itu guru dipaksa ikut
bermain dengan memberikan jawaban kepada siswa. Ironi. Maksud hati meningkatkan
mutu apa daya malah menghancurkan mutu plus moral. Untuk mengatasi itu
pemerintah membuat paket soal tidak hanya satu, mulanya 2 paket kemudian 5
paket. Karena gugatan dari yang kontra begitu kuat bahkan sampai memenangkan
gugatan di pengadilan, akhirnya pemerintah mengambil kebijakan bahwa sekolah
juga ikut menentukan kelulusan siswanya. Syarat kelulusan diformulakan NA = 0,4
NS + 0,6 UN ( NA = nilai akhir, NS = nilai sekolah, UN = nilai ujian nasional).
Syarat lulus NA harus 5,5 atau lebih. Formula inipun gampang dicurangi, agar
siswanya lulus. Dengan jurus dewa mabuk banyak sekolah yang menyulap NS (nilai
sekolah) menjadi tinggi bahkan sangat tinggi. Jika tidak sungkan gitu semua
siswanya diberi nilai 10. Tragis, nilai tinggi tapi mutu rendah. Kalau kita
hitung dengan formula di atas NS = 10 agar NA = 5,5 maka UN = 2,5. Betapa
rendahnya, karena lulus hanya butuh nilai UN = 2,5. Mutu meningkatkah ? Jika
kita balik UN = 3 supaya lulus membutuhkan NS = 9,25. Apakah masuk akal semua
siswa mempunyai nilai di atas 9. Lagi-lagi muncul sindiran 'inginnya
meningkatkan tapi yang didapat keterpurukan'. Dari fakta di atas masih lebih
baik jika UN tidak digunakan sebagai penentu kelulusan, supaya tidak terjadi
markup nilai gila-gilaan dan moralitas tetap terjaga karena tidak melulu
berpikir melakukan kecurangan.
Baik Tapi Basa Basi. Minta doa restu sebelum menempuh ujian merupakan perbuatan baik. Utamanya
doa restu dari ayah dan ibu. Jangan sampai sudah minta restu orang lain,
sementara lupa minta doa restu ayah dan ibu sendiri. Mohon doa restu kepada
guru sebelum menempuh ujian nasional saat ini baru ngetren. Siswa
berbondong-bondong mendatangi gurunya kemudian bersalaman sambil meminta doa
restu supaya lulus dalam menempuh ujian. Yang didatangi bukan hanya guru yang
saat ini mengajar mereka, tetapi juga mantan guru-guru mereka dulu. Siswa
SMA/SMK menyempatkan diri megunjungi guru-guru SMP mereka. Kedatangan mereka
membuat suasana sekolah mendadak meriah mirip hari raya Idul Fitri. Mantan guru
SMP mereka menyambut gembira karena mantan murid masih ingat pada almamater. Adegan
salam salaman menambah suasana menjadi lebih hangat dan akrab. Semua siswa
mendadak berperan sebagai sosok yang santun. Semua guru juga mendadak berperan
sebagai sosok begawan pemberi restu kepada siapa saja yang meminta. Di tengah
tengah hingar bingar itu ada seorang guru yang berpandangan lain, dia lebih
berpikir rasional. Sambil bersalaman guru yang kritis tadi menasehati ‘Jangan
menganggap urusan sudah selesai sampai di sini. Urusanmu yang paling penting
adalah belajar kemudian berdoa dan jangan lupa mohon doa restu ayah dan ibumu.’
Nasihat guru tadi sebenarnya juga bermakna mengkritisi gejala yang baru ngetren
tadi. Peristiwa yang sebenarnya jamak dan lumrah kemudian disakralkan,
diformalkan dalam bentuk seremonial kecil-kecilan yang dikhawatirkan melupakan
urusan yang paling urgen. Bersalaman tanpa menyertakan emosi, permintaan restu
yang jauh dari keseriusan dan kekhusukan bukankah itu lebih tepat disebut basa-basi
? Budaya basa-basi berselimutkan spiritual religius saat ini sedang ngetren. Mata
pelajaran basa basi secara eksplisit sudah masuk dalam kurikulum dengan
pendekatan pembelajaran yang terbukti handal. Sedikit teori banyak praktik. Sebagai
guru hendaknya peka dan jeli, dalam menanamkan budaya santun jangan
menjerumuskan siswa dalam kubangan formalitas basa-basi yang jauh dari
efisiensi dan esensi.
Bebas Dari Penindasan. Berakhirnya
Ujian Nasional dirayakan dengan penuh suka cita dan penuh kemenangan. Layaknya
kemenangan melawan penjajahan dan penindasan. Luapan kemenangan diwujudkan
dengan corat coret baju, pesta miras, pawai arak-arakan keliling kota bahkan
tawuran. Begitulah fakta yang muncul ke permukaan. Padahal itu baru selesai
ujian belum pengumuman kelulusan. Belum tahu setelah lulus nanti bagaimanan.
Gejala apa sebenarnya yang melatarbelakangi ? Mengapa siswa tidak menikmati
masa indah di sekolah ? Mengapa sekolah dirasa menindas ? Masa sekolah menjadi
masa tertindas bukannya masa terindah. Sehingga begitu keluar dari sekolah sama
artinya keluar dan terbebas dari penindasan. Ketika keluar dari sekolah
kelakuan mereka jauh dari nilai-nilai santun, kelakuan yang ditunjukkan justru
liar dan brutal. Dalam hati mereka memendam dendam kesumat yang harus
dilampiaskan dengan membabi buta kepada siapa saja yang mereka temui. Dalam
pikiran mereka semua turut andil dan turut berdosa atas penindasan yang mereka
alami. Hal ini sangat kontras dibanding masa masa menjelang ujian nasional
dgelar. Dengan santun mereka berbondong-bondong mendatangi guru mereka untuk
meminta dosa restu. Ternyata kelakuan santun yang mereka tunjukkan hanya
basa-basi. (Baca juga Baik Tapi Basa Basi).
Kalau kita cermati gejala ini muncul
setelah Ujian Nasional digunakan sebagai penentu kelulusan. Sebelum itu tidak
pernah ada gejala yang membuat hati menjadi miris. Sebelum itu suasana sekolah
damai-damai saja. Siswa senang bersekolah bahkan ketika libur mereka merindukan
suara bel berdering pertanda pelajaran dimulai. Mereka merindukan sapaan
guru-guru yang ramah, mereka merindukan berdesak-desakan di kantin berebut
tempat duduk. Saat ujian semester maupun ujian nasional berlangsung, bagi
mereka biasa-biasa saja, tidak perlu ada yang dicemaskan dan tidak perlu ada
yang ditakutkan. Keadaan emosi mereka begitu stabil sehingga dalam menjawab
soal tidak ada perasaan grogi. Nilai yang muncul merupakan cerminan kemampuan
siswa, karena jawaban yang mereka berikan masih relatif jujur. Jika ada
yang melakukan kecurangan jumlahnya relatif kecil. Dan yang paling penting
kecurangan tidak pernah direstui dan tidak pernah direncanakan baik oleh siswa
maupun oleh sekolah. Kalau ada siswa yang tidak lulus, berarti siswa tersebut
memang layak untuk tidak lulus, tidak ada kejutan yang mengejutkan.
Tetapi ketenangan itu terusik begitu ujian nasional digunakan sebagai
penentu kelulusan. Dampak ujian nasional jika dipakai sebagai penentu kelulusan
begitu mengerikan. Dari tahun ke tahun korban berjatuhan dari kalangan generasi
penerus bangsa. Sejatinya Ujian Nasional digunakan untuk mendongkrak mutu
pendidikan tetapi praktiknya justru menenggelamkannya ke titik nadir. Bukan
hanya mutu yang tenggelam tetapi juga moral. Kecurangan begitu sistematis,
terencana, melibatkan banyak orang dan mendapat restu. Komplit sudah. Secara
eksplisit mata pelajaran kecurangan sudah masuk dalam kurikulum sekolah. (Baca
juga Ujian Nasional seberapa Penting ?) Masihkah ujian nasional sebagai penentu
kelulusan layak tetap dipertahankan ? Menunggu sampai benar-benar kolap baru
dicabut ? Terlambat
stuju ! anak didik itu mpy kcerdasan dibidangnya sndiri2.bhwa seorang murid itu slalu juara di bidang keahliannya msing2,jd gak bisa bisa digebyah uyah dgn mematok unas sbg kberhsilan bljar.
BalasHapus